Warisan sang Maestro

29 Sep

Warisan sang Maestro

Iwan Tirta, sang Maestro Batik. TEMPO/Dwi Djoko Sulistyo

Iwan Tirta. TEMPO/Dwi Djoko Sulistyo

TEMPO Interaktif, Jakarta -“Membicarakan batik Indonesia, ya, Mas Iwan Tirta. Beliaulah pelopor batik dan menjadi maestro yang mewariskan heritage Indonesia,” Ratih Sanggarwati menuliskan kesannya lewat pesan BlackBerry kepada Koran Tempo, Minggu sore lalu. Perancang senior bernama lengkap Nusjirwan Tirtaamidjaja itu meninggal Sabtu lalu di Jakarta dalam usia 75 tahun.

Ratih, yang sering menjadi model untuk busana rancangan Iwan, melanjutkan, “Beliau tak hanya melahirkan batik, tapi juga mengasuh dan membesarkan batik hingga terkenal ke luar negeri.” Memang, dialah yang membawa batik menjadi adibusana di tingkat internasional.

Ratih sangat mengagumi karya Iwan, yang dinilainya sangat setia dengan pakem batik. “Kekuatan karyanya karena Mas Iwan sangat memahami dinamika perkembangan batik Indonesia,” kata Ratih. Satu hal penting yang paling diingat Ratih, “Mas Iwan memiliki prinsip batik yang baik, yakni harus bisa memunculkan keindahan corak, konfigurasi, dan kombinasi warna, sehingga tidak perlu lagi dihias dengan payet atau kristal.”

Perancang Poppy Dharsono memberikan acungan jempol kepada sosok yang dianggap sebagai guru dan sahabat itu. Poppy mengenang sebuah pertemuan pada Oktober 2008 dalam proses pembuatan buku perjalanan 30 tahun Poppy berkarya yang berjudul Redefining Heritage. Kala itu, dalam pertemuan yang juga dihadiri Koran Tempo, Iwan sangat antusias menjelaskan tentang pesona batik.

“Batik itu ya tulis, bukan printing. Orang zaman sekarang salah kaprah menganggap enteng batik. Keagungan batik terletak pada proses panjangnya, yaitu sejarah, tradisi, dan filosofi. Jadi bukan asal mengecap atau mencetak seperti yang sekarang ramai dilakukan banyak orang,” suara Iwan saat itu terdengar tegas nan lugas, meski bernada prihatin.

Siang itu, berulang kali Iwan menatap Koran Tempo sambil mengajukan beberapa pertanyaan seputar batik. “Saya selalu menguji wartawan yang mau wawancara soal batik ke saya.” Menurut dia, itu sangat penting untuk mengetahui sejauh mana kemampuan si wartawan. “Terus terang, saya malas ditanya oleh anak bawang yang tidak mengerti apa-apa,” tuturnya dengan mimik serius.

Iwan, yang dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 18 April 1935, ini pernah menulis buku Batik, A Play of Light and Shades pada 1996. Tahun lalu, buku ini dicetak ulang dengan meluncurkan judul Batik, Sebuah Lakon. Karya Iwan memiliki kekhasan batiknya dengan mempopulerkan batik prada atau batik jenis sutra warna emas, sehingga tampak glamor.

Iwan pun piawai dalam menggarap motif hokokai, yang dikenal sulit dan penuh warna, serta aneka motif rumit berukuran kecil. Selain itu, karyanya memakai motif berukuran besar untuk kain perempuan. Alasannya, kain batik dengan motif diperbesar akan terkesan lebih megah.

“Detailnya sangat indah, tampak jelas dan tegas. Perempuan yang mengenakannya akan tampil lebih percaya diri, anggun, mempesona, dan menuntut dihormati. Ia bukan warga nomor dua dalam masyarakat yang terikat oleh batasan gender. Begitulah karakter perempuan Indonesia yang mengilhami karya batik Mas Iwan dan selalu ingin ditampilkan dengan karya seperti itu,” tutur Poppy tentang karya Iwan itu.

Menurut Poppy, Iwan menempatkan corak batik berukuran besar begitu rupa, sehingga tetap luwes, tidak mendominasi pemakainya, dan tetap indah. “Hal begini yang memerlukan sensitivitas dan pemahaman batik yang mendalam, yang hanya bisa dilakukan sang maestro seperti beliau.”

Poppy mengatakan, saat berdiskusi soal pembuatan bukunya, Iwan Tirta berulang kali menyatakan rasa prihatinnya terhadap pembatik masa kini. “Kata Mas Iwan, para pembatik ini sebatas berkarya tanpa memperhatikan filosofi, sejarah, serta perasaan estetika yang terpancar dari dalam jiwa.” Ini berbeda dengan pembatik dulu, sehingga karyanya pun berbeda. “Dari selembar kain yang mereka buat, selalu memiliki makna sakral dan jiwa yang kuat.”

Sementara itu perancang Ghea Panggabean mengatakan karya Iwan bukan hanya dari sisi busana dan kain. Interior pada industri tekstil, perhotelan, rumah sakit, dan beberapa instansi lainnya, termasuk perusahaan besar, banyak memakai inspirasi batik Iwan. Menurut Ghea, kesenioran, kemampuan, serta semangat untuk terus belajar menjadi ciri khas setiap karya Iwan, yang selalu berbicara dan sakral. “Sebab, memang pengolahannya sempurna melalui alur dan proses panjang, jadi bukan asal.”
Ghea menyebutkan, kegigihan lain yang dilakukan Iwan bukan hanya seputar tekstil, tapi juga mulai mengarah ke kreasi kriya Indonesia, seperti pecah belah. Januari lalu, karya pecah belah eksklusifnya sangat menyita perhatian lantaran berharga dengan kisaran ratusan juta rupiah. Motifnya, mondang, hokokai, tumpal nanas, serta panadai sikat, merupakan koleksi perangkat makan dan minum keramik yang bercorak Nusantara.

Artis Christine Hakim mengakui kehebatan Iwan melalui karyanya yang pernah sukses mendandani tokoh penting mancanegara dalam berbagai konferensi dunia. “Beliau berkarya dengan empati dan batin. Tak mengherankan jika karyanya bergengsi dan mendunia,” kata Christine, yang mengaku hanya memiliki sedikit koleksi batik Iwan Tirta.

Adapun Barli Asmara mengakui karya Iwan Tirta memberikan inspirasi bagi para perancang junior seperti dirinya. Perbedaannya, Iwan Tirta merancang dengan membatik sendiri atau langsung. “Saya hanya mendapat kain batik melalui perajin. Namun warisan terpenting dari beliau adalah ilmu terbaik bagi saya beserta teman-teman,” ujarnya.

HADRIANI P

5 Tanggapan to “Warisan sang Maestro”

  1. Maskur® 29 September 2010 pada 12:10 #

    pertamaxxxxxx

    • waroengbhatik 29 September 2010 pada 12:28 #

      Waduh..jadi minder aku kedatangan bloger senior… Mohon bimbingan Bung Maskur

  2. Maskur® 30 September 2010 pada 12:46 #

    wah pak wartawan merendah. Wah wong tempo ketularan pak Wicak kabeh ki?eh wis ketemu kang Nugroho adhi?

    • waroengbhatik 30 September 2010 pada 18:01 #

      Durung e, mas Adhie ki posisine nang kantor Velbak celak langsat. aku nang Cikini…

      • Maskur® 30 September 2010 pada 19:16 #

        Oh iya ding, sing meh Cipulir kae ya?
        lha sing neng kuningan kae ya ana ki

Tinggalkan Balasan ke Maskur® Batalkan balasan